ALTERNATIF KARYAWISATA PELAJAR

Sabtu, 23 Januari 2010

Oleh AGUS SAKTI
"... tengah musim 2008"


Musim liburan sekolah sudah tiba. Para pelajar pun tak sabar untuk mewujudkan kegiatan yang sebelumnya telah direncanakan dengan bulat. Beberapa rencana matang di antaranya adalah kegiatan karyawisata menuju tempat-tempat yang dianggap berpotensi akan sebuah pengetahuan anyar.
Demikian halnya dengan apa yang diprogramkan oleh TK Dharma Wanita Karang Dieng, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto. Tempat wisata yang tak lain memuat miniatur Jawa Timur dan beragam mainan anak kecil dan dewasa ini, Jatim Park, adalah tempat tujuannya.
Hal ini dilakukan tidak sekadar rekreasi sekolah belaka. Akan tetapi, karyawisata yang dimaksud adalah rekreasi yang dibungkus dengan sebuah kegiatan yang sifatnya mendidik. Namun, refresing dan rekreasi melepas peluh sehabis ujian itu tak tercapai dengan baik, malah sebaliknya, kendaraan yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan dan terbakar di Kota Batu pada Senin, 9 Juni kemarin.
Kejadian yang sama juga pernah terjadi di Kabupaten Jember. Tepatnya bulan Juli, 2002. Tidak jauh berbeda, bus Damri yang akan membawa rombongan siswa-siswi TK Theo Broma milik PTPN XII dan dewasa masuk sungai di Dusun Kemuning Lor, Kecamatan Arjasa, Jember. Awalnya, mereka akan melakukan rekreasi ke pantai Pasir Putih di Tandjung Papuma.

Kegiatan karyawisata ini pada dasarnya adalah sebuah kegiatan yang dimimpikan para pelajar. Sebab, selain berfungsi sebagai kegiatan yang mendidik, pelajar juga bisa melakukan proses rekreasi guna merenggangkan saraf otak yang tegang lantaran kenyang mengonsumsi pelajaran selama satu semester.
Kegiatan karyawisata ini sejatinya membutuhkan seribu persiapan yang tidak sembrono. Mulai dari konsep yang matang hingga pelaksanaan teknis akomodasi di lapangan. Oleh karena itu, bagi para pelajar yang ingin melakukan kegiatan karyawisata serupa apa yang dilakukan TK Dharma Wanitan dan TK Theo Broma tidak perlu takut dan khawatir. Jika konsep dan persiapan teknis dilakukan dengan cermat kecelakaan dapat direduksi dan diantisipasi.
Mari cermati kejadian berikut: kecelakaan yang terjadi, baik TK Dharma Wanita dan TK Theo Broma, diakibatkan karena rem blong dan kapasitas penumpang yang di luar batas kewajaran. Jika hal ini dapat dikondisikan dengan baik sebelumnya, maka kecelakaan yang merenggut nyawa ini tidak perlu terjadi.
Jika kejadian ini tetap menjadi sebuah phobia tidak ada salahnya jika pihak sekolah melakukan sebuah kegiatan lain untuk mengisi ruang kosong di hari libur. Toh wisata sebenarnya juga bisa dilakukan di sekitar lingkungan sekolah, tidak harus ke luar wilayah, bahkan ke luar kota.
Wisata kemah, misalnya. Hal ini bisa menjadi alternatif menggantikan peran karyawisata. Selain itu, untuk menambah wawasan pelajar akan pengetahuan, kegiatan kemah kampus, pabrik, budaya, sejarah, dan parlemen akan lebih menarik jika dikemas sedemikian rupa.
Kegiatan ini dinilai lebih bermanfaat. Bagaimana tidak, berkemah akan melatih kemandirian siswa dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Selain itu, kegiatan ini lebih hemat biaya karena tidak merogoh kocek dalam-dalam. Dan, tidak ada risiko besar di jalan.(*)

Baca lanjutannya ...

INDONESIA, BANGSA BIBIT UNGGUL

Jumat, 22 Januari 2010

Oleh AGUS SAKTI
Dilembarkan pada Harian Media Indonesia, 8 Maret 2008

Judul Buku: Kagum pada Orang Indonesia
Pengarang: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Progress—Yogyakarta
Cetakan: I, Januari 2008
Tebal: 56 halaman

Masih segar di ingatan kita mengenai perilaku arogan polisi negara bagian New South Wales, Australia, terhadap Sutiyoso. Mereka mendatangi hotel tempat Sutiyoso menginap di negara itu dan memintanya untuk memberikan keterangan mengenai peristiwa tewasnya lima wartawan Australia di Timtim (kini Timor Leste) pada 1975 silam yang dikenal sebagai Balibo Five. Tentu saja tindakan yang tak senonoh itu tidak dapat diterima karena Sutiyoso adalah pejabat negara yang resmi datang ke New South Wales atas undangan pemerintah setempat.
Lima bulan kemudian setelah kejadian itu, 6 Oktober 2007, ada kejadian serupa di Malaysia. Beberapa anggota anggota RELA (Relawan Rakyat Malaysia) merazia istri Atase Pendidikan Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia, Muslinah Nurdin, ketika tengah berbelanja di sebuah mal. Yang di luar logika, ketika Muslinah memerlihatkan kartu identitas diplomat, yang notabene dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Malaysia, tak mereka anggap. Baik Sutiyoso maupun Muslinah Nurdin, di mata bangsa lain adalah sama; orang Indonesia yang memiliki stigma negatif.
Bangsa lain sudah terlanjur berprasangka buruk terhadap bangsa Indonesia. Salah satu media kelas atas negeri ini pernah mengabarkan bahwa segerombolan orang Indonesia yang ada di Malaysia diasumsikan sebagai TKI ilegal. Beberapa jurnalis yang akan meliput berita di negeri orang juga mengalami kesulitan ketika masuk batas teritorial negara asing, lagi-lagi penyebabnya adalah karena mereka menyandang predikat yang sama; Indonesia.

Jangan heran jika akhir-akhir ini Anda kerap mendengar warta perihal TKI yang dideportasi, dianiaya, diperkosa, diancam hukuman mati, hingga mati mengenaskan. Kejadian ini acap terjadi di negara-negara tetangga. Dan, belum ada yang mampu menghentikan itu, level pemerintah sekali pun. Padahal, negara lain, jika buruh migran yang diperlakukan kurang baik mampu membuat pemerintah dan rakyatnya marah.
Prejudice negatif negara-negara tetangga yang ditudingkan pada bangsa Indonesia adalah kesimpulan yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah bangsa yang rendah. Tidak sedikit penduduk dunia membayangkan orang Indonesia mengidap penyakit bodoh yang akut, mudah sekali ditipu. Padahal, dulunya Indonesia adalah bangsa yang berperadaban besar.
Dalam logika linguistik, bangsa yang berperadaban besar adalah bangsa yang memiliki simbol bahasa dengan aksara idiosinkratis, yang berbeda dengan bangsa lainnya, seperti halnya Arab Saudi, Jepang dan China. Kita lupa bahwa kita pernah memiliki hal serupa. Aksara jawa yang sudah ada sejak pemerintahan Majapahit adalah bukti bahwa Indonesia adalah bangsa yang berperadaban.
Agaknya kebesaran yang dibungkus romantisme sejarah itu berhasil membuat kita terlena. Betapa tidak, alih-alih berempati pada duka lara yang terjadi di Indonesia, warga negaranya malah tidur pulas dalam glamorius duniawi. Arus globalisasi dengan jargon besarnya imperialisme dan kapitalisme tampaknya berhasil memutihkan jiwa-jiwa sosial bermasyarakat di Indonesia. Gotong-royong yang sebelumnya mampu mewujudkan kemerdekaan atas aristrokasi penjajah kini rapuh disapu animo hedonis. Semangat perdamaian yang diawali dari paham tenggang rasa juga mulai luntur digilas beragam tendensi politik.
Buku Kagum pada Orang Indonesia yang ditulis oleh kyai kanjeng Emha Ainun Nadjib, atau yang biasa dikenal dengan Cak Nun, ini bisa dikatakan sebagai ungkapan insinuasi penulis dengan penuh kesadaran sikap setelah melihat fenomena seperti itu. Salah satu keunikan buku ini tidak memberikan seratus persen kritik, seperti menjelentrehkan kemiskinan harga diri bangsa Indonesia. Namun sebaliknya, ibarat mengingatkan sang guru, cak Nun berangkat dari asumsi-asumsi metafor, seperti mengurai kekayaan SDA Indonesia yang ditimbun kemudian diekspor diam-diam oleh oknum berdasi. Demikian halnya rakyatnya yang tahan banting melihat penderitaan saudaranya yang terkena busung lapar oleh kesuburan tanahnya sendiri. Ini menjadi pertimbangan utama dalam tulisan cak Nun.
Bibit Unggul
Mesir menciptakan teknologi perkebunan karena memimpikan lingkungan hidup seperti di Indonesia, sehingga mereka mampu menjadi eksportir apel, anggur dan mangga. Sementara Indonesia yang subur tidak perlu menjadi eksportir seperti itu, karena toh bisa menanam anggur, apel dan mangga kapan saja. Bahkan Indonesia menunjukkan kepada dunia mampu menjadi importir beras meskipun lahan persawahan dan peradaban padi suku bangsa Jawa tidak ada tandingannya di dunia. (hal. 10). Hemat cak Nun, kondisi ini menyerupai perilaku tawadlu’ sosial yang, bisa jadi, berangkat dari semangat andap ashor.
Asumsi penduduk dunia perihal kampung kumuh, busung lapar dan negeri yang penuh duka lara dan kegelapan agaknya sedikit meleset. Betapa tidak, hemat penulis tidak ada satu bangsa pun di dunia ini yang mampu mengungguli Indonesia. Tak ada orang yang bersukaria melebihi orang Indonesia. Tak ada orang berjoget-joget siang malam melebihi bangsa Indonesia. Tak ada masyarakat berpesta, tertawa lepas, jagongan, kenduri, dan segala bentuk glamorius kehangatan hidup melebihi kebiasaan masyarakat Indonesia. Tak ada anggaran biaya pakaian dinas pejabat melebihi yang ada di Indonesia. Dan, budaya seperti itu sungguh memang hanya terdapat di Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Kebodohan yang merata dalam kehidupan bangsa kita di semua segmen dan strata, tidak mengurangi kebesaran bangsa Indonesia. Untuk menjadi besar, bangsa Indonesia tidak memerlukan kepandaian. Bodoh pun kita tetap besar. Dengan modal moralitas yang rendah dan hina pun bangsa kita tetap bangsa yang besar. Oleh karena itu kita tidak memerlukan kebesaran, karena memang sudah besar. (hlm. 21).
Kebesaran yang ironis, demikian cak Nun merajutnya dengan kalimat metafor. Tidak menggurui hanya sekadar berempati, tidak juga memaksakan kehendak namun cak Nun langsung bertindak karena cak Nun memang dikenal intens terlibat dengan manusia Indonesia dengan beragam persoalannya maupun kecenderungan budayanya. Bahkan, pergumulan itu tidak hanya terjadi di tanah air. Cak Nun juga bertemu dengan orang Indonesia yang kebetulan berada di laur negeri, entah mahasiswa maupun TKI. Intensitas itu di sisi lain melahirkan sebuah persepsi dan pemahaman tentang siapa sebenarnya orang Indonesia.
Buku ini berisikan pandangan, harapan, bahkan juga parodi cak Nun mengenai sisi-sisi kualitatif manusia Indonesia. Sejatinya, dalam kacamata cak Nun manusia Indonesia memiliki banyak potensi keunggulan, walaupun potensi itu tidak banyak didukung oleh budaya dan struktur sosial politik yang melingkupi mereka. Cak Nun kagum kepada bakat-bakat orang Indonesia. Kendati bisa juga secara satiris kagum di situ adalah kagum dalam tanda petik. Buku ini mencoba menabur benih asa terhadap potensi keunggulan itu. Selamat membaca! (*)

Baca lanjutannya ...

MERENUNGI PERMAINAN TRADISIONAL

MERENUNGI PERMAINAN TRADISIONAL
Oleh AGUS SAKTI
". . . tengah musim 2007"


Gatri ala gatri nagasari, ri
Riwul owal awul jenang katul, tul
Tolen alen-alen jadah manten, ten
Titenana besuk gedhe dadi apa, pa
Podheng mbako enak mbako sedheng, dheng
Dhengkok eyak-eyok dadi kodhok

Sepengagal bait lagu di atas biasanya digunakan sebagai instrumen pengiring permainan tradisional gotri. Selain permainan ini, cublak-cublak suweng juga memiliki instrumen lagu tertentu yang digunakan sebagai simbol bahwa permainan tersebut baru saja dimulai. Baik lagu pengiring permainan tradisional gotri maupun cublak-sublak suweng kini tak lagi sering dinyanyikan oleh anak-anak di halaman rumah, bahkan hampir tidak ada.
Alih-alih memeriahkan permainan itu, mengenal dan mengerti aturan main saja mereka tidak menahu. Saat ini mereka lebih mafhum mengoperasikan game komputer yang menyediakan seperangkat permainan yang lebih canggih. Game on line juga berhasil memikat hati mereka beradu tangkas satu dengan lawan permainan yang lain.
Permainan ini lebih banyak dikenal dengan model permainan yang mengedepankan aktivitas otak dari pada fisik. Padahal, permainan tradisional juga tidak melulu melakukan tindakan fisik, akan tetapi keterlibatan otak juga kerap dibutuhkan dalam permainan ini. Sebut saja permainan dhakon, permainan yang diadopsi dari filosofi bertani ini menuntut anak supaya berpikir bagaimana cara petani mendapatkan hasil sebanyak mungkin dan kemudian disimpan di dalam lumbung.

Selain itu, kemampuan menjalin relasi sosial dengan individu lain merupakan sebuah tuntutan pada permainan tradisional lainnya. Gobak sodor, misalnya. Warisan wong londo ini menghendaki anak untuk saling bertemu dan berkomunikasi dengan anak-anak yang lain. Mereka akan termotivasi berlatih banyak hal, antara lain melatih mereka melakukan kerjasama, menelurkan konsep strategi yang matang, tepa selira atau saling menghormati, berbalas budi dan percaya diri.
Dalam kajian sosial-budaya, permainan tradisional merupakan salah satu warisan budaya. Dan, warisan budaya memiliki keperluan untuk dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya. Unsur ini merupakan sebuah sarana sosialisasi yang efektif dari nilai-nilai yang dipandang penting oleh suatu masyarakat. Nilai-nilai ini kemudian dapat menjadi pedoman hidup, pedoman berperilaku dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat.
Rahma (1996) menyatakan bahwa di dalam permainan rakyat seperti: Gobak sodor, kitri-kitri, man dhoblang, dan lain sebagainya sebenarnya mengandung banyak nilai filosofisnya, yaitu yang terwujud dalam fungsinya sebagai suatu media untuk menurunkan pesan-pesan budaya kepada generasi berikutnya. Oleh sebab itu, pesan-pesan budaya inilah yang dimaksudkan dengan hakikat permainan tradisional.
Pembelajaran
Tulisan ini tidak banyak mengetengahkan kenapa permainan tradisional semakin tereduksi dari lingkungan anak-anak. Hanya, permainan tradisional dirasa perlu untuk tetap dilestarikan karena memiliki substansi pembelajaran biologis, kognitif, dan sosioemosional pada anak. Ini sangat membantu proses perkembangan fisik dan psikis anak.
Perkembangan fisik anak akan terlatih ketika mereka bermain engklek. Bagaimana tidak, dengan cara melompat, menggunakan satu kaki dari petak pertama hingga petak teratas akan melatih otot kaki dan membantu pertumbuhan tulang. Permainan egrang juga perpengaruh positif terhadap otot tangan. Unsur biologis yang terlibat dalam setiap permainan melandasi perkembangan otak, perubahan dan kemampuan bergerak, dan perubahan hormonal di masa puber.
Pembelajaran yang melibatkan unsur kognitif juga akan membiak seiring dengan proses berlangsungnya permainan. Psikolog Swiss, Jean Piaget (1952), mengatakan bahwa ada dua proses yang bertanggungjawab atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi sebuah konsep dasar informasi. Dua proses penting yang bertalian erat dengan permainan yang mereka lakukan adalah: asimilasi dan akomodasi.
Dalam permainan egrang, misalnya. Budi berumur delapan tahun diberi bambu yang sudah dirakit sedemikian rupa layaknya alat egrang. Dia belum pernah sama sekali menggunakan alat itu. Tetapi dengan cara mengamati orang lain berjalan tinggi dengan bambu maka dia mengetahui bahwa bambu tadi harus dinaiki pada bagian yang sudah dirakit kemudian diayunkan ke depan. Setelah mengetahui hal ini, dia akan memasukkan pengetahuan ini ke dalam konsep pikiran yang sudah dimilikinya (asimilasi).
Akan tetapi, bambu tersebut terlalu berat untuk diayunkan, budi terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan antara kaki dan tangan untuk melangkah ke depan. Oleh karena itu, dia harus mampu menyesuaikan kekuatan kaki dan tangan bergerak secara seimbang. Penyesuaian ini mencerminkan kemampuannya untuk merubah sedikit pemahamannya tentang dunia (akomodasi).
Dalam menjalankan sebuah permainan, secara tidak langsung anak juga melakukan proses perkembangan sosioemosional. Mereka belajar bagaimana membangun hubungan yang baik dan melakukan kerjasama tim untuk mencapai tujuan yang sama. Perubahan emosi, perubahan kepribadian, perkembangan ketegasan anak perempuan, perkelahian, dan rasa kegembiraan saat memenangkan permainan mencerminkan proses perkembangan sosioemosional anak.
Usang
Permainan anak-anak dipelajari ketika mereka masih memasuki fase perkembangan janak-kanak. Sehingga nilai dan pesan-pesan moral yang terdapat dalam permainan tradisional tersebut dapat masuk dengan cepat. Ini pada gilirannya akan mengendap dengan kuat dalam alam bawah sadar (unconsciousness) seseorang.
Dalam analisis Freud, ketika mereka sudah dewasa kecemasan, ketakutan, dan apa-apa yang dipikirkannya tidak bisa luput dari dorongan alam bawah sadarnya. Sehingga, jika sejak kecil mereka pernah mengenal nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), etika perilaku dan nilai-nilai moral lainnya, maka ketika dewasa kelak konsep ini akan tetap hadir mengiringi alam sadar (consciousness) mereka yang kemudian termanifestasi dalam wujud perilaku nyata.
Kiranya tak tepat jika menganggap permainan tradisional ini sebagai salah satu permainan yang telah usang dan layak masuk museum. Nyatanya, kebermaknaan nilai-nilai local wisdom dan pemahaman moral masih memiliki pengaruh kuat pada usia dewasa. Sejatinya, media ini juga mampu mereduksi generasi moderen yang sarat dengan perilaku-perilaku konsumtif, hedon, dan glamorius duniawi. Sebuah budaya baru yang teralienasi dari kearifan lokal mapun moral dan etika. Saatnya memandang permainan tradisional bukan melulu sebagai permainan usang, akan tetapi proses pembelajaran yang terkandung di dalamnya perlu kita renungi bersama. (*)

Baca lanjutannya ...

Hajj Revolution

Rabu, 20 Januari 2010



Revolusi Haji
Oleh AGUS SAKTI

Salah satu tanggung jawab para peserta haji adalah menjadikan ibadah haji yang dilaksanakannya sebagai media untuk menghadirkan pencerahan bagi masyarakat secara umum. Realitas pengangguran, kemiskinan, dan diskriminasi hak-hak publik (public rights) kaum pinggiran merupakan akibat dari minimnya tanggung jawab dan kesadaran sosial komunitas beragama. Kondisi ini harus segera direvolusi jika kita sama-sama mengidealkan persemakmuran masyarakat yang sejahtera.
Di negeri ini, hampir setiap tahun masyarakatnya melakukan “transmigrasi” religi ke kota Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Saking semangatnya, mereka rela mengantri hingga berderet-deret. Dalam beberapa narasi surat kabar, mereka merelakan dirinya duduk dalam antrian menahun; dua hingga tiga tahun.


Jika kita sama-sama sepakat orang yang pergi haji merupakan orang yang berkecukupan—jika tidak mau disebut kelebihan—secara ekonomi. Sedangkan banyaknya peserta haji yang rela menunggu giliran hingga beberapa tahun, setidaknya, (juga) melukiskan banyaknya orang yang berkecukupan di negeri ini. Pada waktu yang telah ditentukan, mereka akan mendapat giliran. Beriringan dengan waktu itu pula mereka akan bermetamorfosis menjadi sosok yang dipandang memiliki standard yang cukup menjadi pribadi yang salih secara personal; “Pak Haji”.
Diakui maupun tidak, sepulang dari tanah suci, masyarakat mendambakan sosok “Pak Haji” sebagai pribadi haji yang sukses; mabrur. Haji mabrur, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw, memiliki ciri, pertama, ayyakuna tibil kalam (setelah haji omongannya enak, manis, menyenangkan, tidak lagi menyakiti orang). Kedua, ifsaus salam (mendambakan kedamaian). Terakhir, it’amuth tha’am (memiliki jiwa sosial yang semakin tinggi). Singkatnya, haji yang mabrur adalah pribadi yang berdistansi dengan kemaksiatan dan meningkatkan kebaikan sosialnya.
Religuitas biner
Berhaji, secara teologis, berarti menggenapkan rukun agama. Melaksanakan ibadah haji sama artinya dengan menggugurkan rukum Islam yang terakhir. Secara moral kesuksesan ibadah haji merupakan cerminan kesalihan personal. Ini dapat dinilai cukup mumpuni untuk meneguhkan spirit kesalihan sosial kepada masyarakat. Artinya, atmosfir kesalihan sosial harus mereka hadirkan secara fundamental.
Pentingnya kesadaran sosial dalam nalar ibadah banyak dikaji oleh cendekiawan muslim. Mohammad Arkoun dalam Al-Fikrul Islâmy; Naqd wa Ijtihâd memberikan tesis bahwa kuatnya “nalar teologis” (al-‘aql aqâidî) harus diimbangi dengan pemahaman problem kemanusiaan (pembebasan manusia) supaya makna ibadah bisa lebih seimbang. Demikian halnya dengan laku ibadah haji, spirit kesuksesan spiritual harus selaras dengan kesalihan sosialnya. Kesalihan sosial bisa tersubsistem dalam beberapa sikap yang melaju dalam lokomotif persemakmuran manusia. Di bagian ini tanggung jawab moral “Pak Haji” diuji.
Saya ingin kembali ke permasalah awal, antrian calon peserta haji yang menahun tadi sudah kita sepakati sebagai cerminan masyarakat yang berkecukupan. Mereka juga bernilai “plus” dan cukup standard kesalihan personalnya. Kesalihan personal ini menjadi media penting bagi lahirnya spirit pembaruan, pemberdayaan, dan pencerahan, yang bukan hanya berdampak pada kesuksesan spiritual secara individual, tetapi juga sosial (kemanusiaan).
Kesadaran seperti itu cukup sulit ditemukan. Bahkan, agaknya berjungkir-balik dengan realitas (kemanusiaan) yang ada. Jika pembaca kurang sepaham, ijinkan saya menghadirkan memori tentang penderitaan kaum “pinggiran”. Di tempat kumuh mereka kelaparan, berkeliaran di jalan(an), beranak-pinak di bawah jembatan, dimarginalkan statusnya, dikebiri haknya, diplokoto citranya di seminar. Tak jarang, statusnya dimanfaatkan menjadi bahan penyempurna proposal penguasa. Ironis, bukan?
Lantas, sebagaimana yang kita sepakati bersama, bukankah status haji berkorelasi signifikan dengan pola hidup berkecukupan? Bahkan (ke)lebih(an)? Tidak sedikit komunitas beragama di zamrud katulistiwa ini yang telah “lulus” menunaikan ibadah haji, mulai dari petani kampung hingga presiden tapi tidak sedikit pula masyarakat yang merayakan kemiskinan di sekitarnya. Mereka dinistakan, dibohongi, bahkan dikriminalisasi hak-hak publiknya.
Sebuah realitas yang berkebalikan, hitam-putih. Biner. Tampaknya laku ibadah masyarakat agama di negeri ini mulai banyak yang terjebak dalam ritus formalitas an sich. Yang gagal diupayakan adalah modal besar spirit ritus ibadah yang selalu menjunjung tinggi jurisprudensi riligius (fikih oriented) tapi representasi moral (akhlak)-nya dicukur gundul. Ihwal ini, saya teringat kritik pedas esais kawakan Mustofa Bisri yang melukiskan bagaimana buruknya perilaku ibadah haji yang menegasikan problem kemanusiaan.
Bisri bercerita bagaimana batu hitam yang tersudut di Kakbah, dekat Multazam, diburu oleh jutaan manusia dari tiap jengkal dunia. Mereka berburu hingga saling jegal, saling sikut, saling dorong, untuk mencium batu hitam tersebut. Seolah mencium hajar aswad adalah bagian dari ibadah haji seperti ihram, thawaf, sa’i, melempar(i) tugu jamarat (lempar jumrah), mabit, dan wukuf.
Saya kurang bisa menerima spirit apa yang sebenarnya mereka usung untuk menyempurnakan haji mereka. Jika di tanah suci saja mereka sudah “keluar jalur”, lantas bagaimana ketika mereka hadir kembali di tanah air? Mereka terkesan seperti mencari pemodalan belaka. Sebuah modal penghormatan. Pembaca pasti tahu, ini sangat ampuh untuk mendongkrak derajat elit(isme) seseorang di masyarakat. Apalagi di daerah tertentu (kampung), predikat “Pak Haji” dan “Ibu Hajjah” merupakan status yang diagungkan.
Kesadaran sosial
Komunitas beragama yang gemar mengupayakan kesuksesan personal dalam beribadah, idealnya menjadikan momen haji untuk menghidupkan spirit pembaruan, pemberdayaan, dan pencerahan bagi masyarakat lainnya. Akan lebih baik jika ini menjadi opsi prioritas ketimbang menjalankan pola keberagamaan yang melulu mengedepankan fikih oriented. Meminjam penjelasan Ali Syariati dalam Makna Haji, haji merupakan salah satu pilar dari doktrin agama terpenting yang memotivasi bangsa muslim dan menjadikan warganya sadar, bebas, terhormat, dan bertanggungjawab secara sosial.
Dari deret antrian wating list panitia haji, kita tahu begitu banyak umat beragama yang “terjebak” dalam jurisprudensi religi daripada kewajiban berakhlak. Kita juga tidak jarang mendengar sebuah risalah kehidupan bagaimana pribadi yang rajin shalatnya dan kerap mengumandangkan nama Tuhan di ruang publik tapi juga khusuk korupsinya. Paradok.
Haji sebagai momen untuk meneguhkan kesasadaran sosial bukan hanya dalam wujud sikap yang berdistansi dengan kemaksiatan dan meningkatnya amal kebaikan, melainkan juga mampu mengintroduksi nafas perubahan secara progresif yang bercorak memberi pencerahan bagi masyarakat secara revolusioner. Andai seluruh “Pak Haji” dan “Ibu Hajjah” menggalakkan spirit seperti ini, persemakmuran masyarakat beragama akan mudah diwujudkan.(*)

Baca lanjutannya ...

Choose, Being Liberal or Progressive?

Senin, 18 Januari 2010



Pilihlah, Menjadi Liberal atau Progresif!
Oleh AGUS SAKTI

Judul Buku: Para Pembela Islam: Pertarungan Konservatisme dan Progresif di Tubuh Muhammadiyah
Penulis: Pradana Boy ZTF
Penerbit: Gramata Publishing—Jakarta
Cetakan: I, 2009
Tebal: xxxvi + 290 halaman
ISBN: 978-602-95325-6-2

Ketegangan, untuk tidak menyebutnya pertentangan, antara dua kelompok konservatif dan progresif, di tubuh Muhammadiyah semakin berjarak dengan kata damai. Bahkan, dalam perkembangannya, hubungan dialektis keduanya telah melahirkan lingkaran setan. Jika progresivisme lahir sebagai respon terhadap tendensi konservatif Islam di Muhammadiyah, kelompok progresif pulalah yang memacu konservatisme lebih serempak dan sistematis dalam Muhammadiyah. Demikian kira-kira vonis buku ini, sehingga kita perlu mencari tahu bagaimana akar penyebab permasalahan yang sedang terjadi.
Dalam beberapa tahun belakangan, tidak banyak orang yang mengikuti riwayat ketegangan antara kedua kelompok ini. Siapa yang lebih benar, dan siapa yang lebih pantas dibela argumennya. Berangkat dari kegelisahan tersebut buku ini mencoba melacak akar intellectual gap pada kedua kelompok tersebut terhadap kenyataan yang jelas bagaimana mereka mengartikulasikan sejumlah pendapat. Kelompok progresif memiliki kebiasaan menggunakan argumentasi-argumentasi yang lebih sophisticated dan merujuk pada sumber terpercaya dalam konteks akademis, sementara kelompok konservatif lebih menyukai perkataan-perkataan atau pernyataan-pernyataan yang tidak mengandung dimensi intellectual exchange.


Gerakan fundamentalisme
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan pemikiran Islam tengah berkembang pesat. Proses itu memberikan pengaruh yang tidak sama terhadap beberapa kelompok dan organisasi ideologis. Perdebatan itu pada gilirannya menampakkan dirinya sebagai sebuah polemik. Bahkan, hal ini terjadi pada sebuah organisasi ideologis sekali pun. Dalam perjalanannya, polemik tersebut berpeluang menaikkan kualitas perdebatan tersebut menjadi sebuah hegemoni yang menakutkan.
Di NU, misalnya, kita dapat menyaksikan bagaimana terjadi aksi penolakan terhadap wacana Islam liberal saat berlangsungnya Muktamar NU yang terakhir. Penolakan tersebut berlanjut, dari penolakan terhadap pemikiran, hingga penolakan terhadap figur-figur yang dianggap mempromosikan gagasan Islam liberal hingga keterlibatannya di kepengurusan berikutnya.
Sedangkan di Muhammadiyah, juga telah terjadi perdebatan akut tentang wacana pluralisme. Organisasi yang menunjukkan eksistensi dirinya sebagai organisasi Islam modern dan rasional ini tengah terjadi gelombang penolakan terhadap pemikiran Islam liberal. Sebuah pemikiran berani yang diusung dari kelompok progresif di tubuh Muhammadiyah. Suara penolakan itu terdengar sayup-sayup yang belakangan menjadi semakin nyaring dan mencoba menggempur pemikiran yang dianggap sebagai “yang mendukung kepentingan Dunia Barat” ini.
Pemikiran tersebut mencoba mempromosikan gagasan ekstrem yang banyak menegur perhatian umat Islam akhir-akhir ini, di antaranya adalah gagasan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Gagasan tersebut tidak lagi menjadi diskursus intelektual di kalangan akademisi muda, melainkan berubah menjadi kekuatan yang dapat dijumpai sebagai sebuah hegemoni, tepatnya hegemoni kelompok konservatif terhadap keberlangsungan pemikiran kelompok progresif di organisasi ini.
Pradana Boy ZTF melalui buku yang ditulis dari pengembangan dan penyesuaian untuk tesis dan masternya di Australian National University (ANU), Canberra, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Para Pembela Islam; Pertarungan Konservatif dan Progresif di Tubuh Muhammadiyah ini menganggap kedua hal tersebut sebagai sebuah kenyataan yang tak terbantahkan di Muhammadiyah. Boy, dalam keterangannya lebih lanjut, memberikan uraian tentang kelompok konservatif dalam organisasi Islam Muhammadiyah teramat gigih menyerukan agar organisasi ini membentangkan keberadaannya dan menjaga posisi puritannya serta melindungi Islam dari resonansi peradaban luar yang berpeluang besar membuat keruh kemurnian ajaran-ajaran Islam.
Dalam posisi yang diametris, menurut Boy, kelompok progresif dapat dilukiskan sebagai agen marketing yang memroduksi respon dan lebih lentur terhadap isu-isu baru dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Dengan bekal pemahaman bahwa keberadaan Muhammadiyah dikenal sebagai salah satu organisasi yang mempromosikan pembaruan Islam, kelompok ini berkeyakinan, seharusnya Muhammadiyah lebih permisif terhadap perkembangan keilmuan, khususnya keislaman kontemporer. Sikap tertutup terhadap keislaman kontemporer bukanlah ciri dari Muhammadiyah itu sendiri, melainkan karakter dari kelompok konservatif. Inilah yang pada tahapan selanjutnya oleh Amin Abdullah dianggap sebagai kemandegan intelektualisme di Muhammadiyah.
Seperti yang terjadi di beberapa kelompok ideologis lainnya, kelompok konservatif dihuni oleh beberapa kader senior Muhammadiyah yang militan, dan sebaliknya, kelompok progresif disemarakkan oleh kader-kader muda yang memiliki kecenderungan intelektual lebih tajam. Sudah sekian lama organisasi ini mendapat buaian pujian karena memiliki sejumput kader intelektual. Namun, beberapa tahun terakhir, ini juga menjadi kecemasan lantaran organisasi ini mengalami “krisis” intelektual pada generasi yang lebih mudah (hlm. 84). Kenyataan ini bisa menjadi sebuah pembenaran terjadinya stagnasi intelektual dan kesenjangan antar generasi di tubuh Muhammadiyah.
Dalam hemat Boy, membiarkan Muhammadiyah dalam keberadaannya yang sedang mengalami stagnasi intelektual sama artinya dengan mendambakan Muhammadiyah melangsungkan gerakan konservatifnya. Stagnasi intelektual dapat dicirikan dengan lahirnya sikap dingin yang berdistansi jauh dari kesadaran untuk menyikapi realita dan isu-isu yang sedang berkembang. Pada titik yang lebih ekstrem, kengganan untuk berdialektika dengan isu kontemporer ini menyebabkan Muhammadiyah layak disandarkan dengan gerakan konformisme imitatif (taqlid). Inilah sifat dasar konservatif.
Bagaimanapun juga, meminjam istilah Muhammad Abduh, konservatisme merupakan cikal bakal gerakan fundamentalisme yang dalam tesis Keren Armstrong sebagai musuh besar abad ini. Dan, Boy, melalui buku ini, ingin mendendangkan sebuah risalah tandingan terhadap keberadaan gerakan Islam tradisionalis yang secara total menolak segala bentuk perubahan.
Tafsir (kebenaran) otentik
Dalam perjalanannya, kekuatan hegemoni kelompok konservatif merupakan salah satu gejala yang paling berpengaruh. Dalam sebuah misal, kita dapat menengok tragedi pemecatan salah satu dosen pengajar di Universitas Muhammadiyah, Gresik, Moh. Shofan, lantaran menulis artikel di salah satu surat kabar yang berumbul Natal dan Pluralisme Agama. Di tempat terpisah, artikel ini juga di-posting di situs resmi Jaringan Islam Liberal (JIL). Pihak kampus dan pengurus Muhammadiyah setempat menganggap perbuatan Shofan yang mengucapkan selamat hari natal kepada umat kristiani dianggap absen dari akidah Islam dan menyimpang dari ajaran Muhammadiyah (hlm. 149).
Bukan hanya itu, kejadian yang serupa juga dialami Dawam Rahardjo, tokoh senior Muhammadiyah. Dawam didepak dari strutktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai konsekuensi yang telah dilakukannya. Pemecatan Shofan dan Dawam semakin menguatkan kenyataan perselisihan yang terjadi pada dua kelompok pemikir di tubuh Intelektual.
Boy, bahkan, secara terang-terangan berani menulis bahwa Muktamar Muhammadiyah ke-45 yang dihelat di Malang pada pertengahan 2005 lalu menandai adanya pergeseran jurang perbedaan antara pemikiran moderat menuju pemikiran konservatif. Ini didasari dengan menguatnya peristiwa untuk melawan sejumlah isu kontemporer semacam pluralisme, multikulturalisme, liberalisme, dan kesetaraan gender pada saat itu (hlm. 1). Bahkan, beberapa pengamat, seperti William Liddle, menyebut terpilihnya Din Syamsuddin sebagai ketua umum Muhammadiyah sebagai kemenangan dari kelompok Muhammadiyah.
Boy menyadari, kedua pandangan yang menyebutkan perbedaan antara kedua kelompok progresif dan konservatif di organisasi ini seperti jurang pemisah yang semakin mengangga. Misalnya, dalam perjalanannya, kelompok konservatif memiliki beberapa tudingan terhadap kelompok progresif. Seperti, “yang tidak berkesesuaian”, penghancur pilar-pilar muhammadiyah, pendukung kepentingan dunia Barat, bahkan dicap sebagai laisa minna (bukan golongan kami) (hlm. 153-183). Hubungan dialektis antara kedua kelompok ini benar-benar melahirkan lingkaran setan. Bahwa sementara progresivisme lahir sebagai respons terhadap tendensi konservatif di Muhammadiyah, adalah progresivisme ini juga memicu konservatisme yang serempak dan lebih sistematis dalam Muhammadiyah.
Ahmad Syafii Maarif, ketua umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005, dalam pengantarnya di buku ini, menganggap kedua kubu tersebut sedang mengeja tafsir kebenaran atas Muhammadiyah “yang otentik” (hlm. vi-vii). Ini adalah sebuah realita dan kelaziman, meskipun tidak sedikit yang berkecenderungan di Muhammadiyah untuk menyembunyikan dan menutupi fakta ini, dengan misalnya mengatakan bahwa konflik pemikiran yang terjadi di Muhammadiyah merupakan pencitraan media massa.
Sudah barang tentu, secara tidak tertulis, Boy mendambakan setiap intelektual Muhammadiyah untuk selalu berpikir kritis terhadap perkembangan zaman. Inilah sejatinya dengan apa yang menjadi pedoman organisasi ini, kembali ke al-Qur’an dan hadis. Harapanya, dengan demikian kita tidak melulu menerima sebuah ajaran doktriner tanpa merelevansikan dengan perkembangan zaman, tapi sebaliknya, mampu menggunakan prinsip-prinsip dasar untuk menghasilkan ajaran itu sendiri.
Melalui buku ini, kita diajak untuk menjauhi paham buta yang merugikan dan selalu berpikir positif dalam setiap persoalan. Selain itu, karya ini mencoba menghadirkan pandangan kritis untuk menyajikan apa adanya fakta yang akhir-akhir ini berkembang di Muhammadiyah, utamanya dalam ranah pemikiran Islam. Dan, penulis mengajak pembaca, terutama kader Muhammadiyah, untuk segera bereksistensi mengambil sikap untuk memurnikan tafsir kebenaran di Muhammadiyah sebagaimana quote yang dibubuhkan penulis pada halaman pertama buku ini saat bedah buku di Perpustakaan Kota Malang: “Pilihlah, menjadi liberal atau progresif!” (*)

Baca lanjutannya ...

Explore Environmental Awareness

Kamis, 14 Januari 2010




MENGGALI KESADARAN LINGKUNGAN
Dimuat di Harian KOMPAS Jatim, 13 November 2009
Oleh AGUS SAKTI

Di dalam media ini pernah dilansir sebuah warta yang menjelaskan bahwa Bidang Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jatim menyebutkan, terdapat 86 industri potensi pencemaran tinggi terhadap Sungai Brantas mulai hulu hingga hilir. Perusahaan-perusahaan itu antara lain perusahaan kertas, pabrik gula, dan pengelolahan logam (Kompas, 16/10). Sujujurnya, realitas ini semakin meneguhkan bahwa manusia saat ini sudah berdistansi dengan lingkungan.
Di Kota dan Kabupaten Malang, telah diketahui setidaknya ada tujuh industri besar yang membuang limbah dengan kadar bahan kimia melebihi standar baku mutu limbah Sungai Brantas. Diduga, perusahaan-perusahaan ini menegasikan prosedur pengelolahan di instalasi pengelolahan air limbah. Dalih mereka cukup klasik; penghematan biaya produksi.


Berbarengan dengan itu, di Surabaya, pelaku pencemaran Kali Surabaya juga berhasil diidentifikasi. Saat ini kita tahu setidaknya ada enam perusahaan pencemar yang sudah berulang kali mencemari Kali Surabaya. Keenam perusahaan itu adalah PT ADS, PT SAK, PT SMB, PT S, PT M, dan PT APP (Kompas, 8/10). Namun, mereka masih tidak lagi jera untuk mengulangi perbuatan yang persis. Setelah diusut, ternyata sanksi yang mereka terima cukup meringankan. Berdasarkan informasi yang ada, mereka hanya dijatuhi sanksi berupa denda Rp 5 juta.
Padahal, sebagai masyarakat Jatim kita tahu sampai saat ini PDAM Surabaya masih menjadikan air Kali Surabaya sebagai air baku yang akan diolah dan selanjutnya didistribusikan ke pelanggan PDAM di Surabaya yang tercatat sekitar 1,9 juta kepala keluarga. Bahasa sederhananya, rantai kehidupan masyarakat Surabaya bertalian erat dengan baik buruknya kualitas air Kali Surabaya. Ternyata sanksi di atas tidak cukup sebanding dengan dampak yang diakibatkan.
Jika kita sepakat, pencemaran lingkungan berkorelasi signifikan terhadap keberlangsungan hidup manusia dan spesies lain. Kita masih ingat, pada tahun 2007 lalu bagaimana kematian ikan berton-ton di pertanian budidaya ikan jaring sekat di hulu Bendungan Sutami, Sumberpucung, Malang. Pencemaran ini disebabkan karena pembuangan liar limbah industri ke Sungai Brantas, sumber induk Sungai Sutami. Dari bagian ini kita mafhum bahwa tidak hanya spesies manusia yang dirugikan.
Masalah lingkungan yang lain adalah regulasi pemerintah terhadap ruang terbuka hijau (RTH) yang dinilai gagap pada beberapa kota di Jatim. Porsi ideal yang dicanangkan dalam setiap kota adalah sebesar 30% dari luas wilayah belum sepenuhnya tergarap.
Diakui maupun tidak, fenomena perusakan lingkungan yang dilakukan dengan sengaja, menyebutkan manusia saat ini memiliki cara pandang yang bertumpu pada logika Cartesian, yang menempatkan manusia teralienasi (terpisah) dengan alam. Bahkan terkesan menempatkan manusia sebagai penguasa tunggal alam yang pada tahapan selanjutnya mengakibatkan mereka rakus, berperilaku eksploitatif terhadap isi alam.
Meminjam kritik Muhammadun AS (2006) dalam Menegakkan Etika Ekosentrisme, ia menjelaskan bahwa alam juga menyimpan sifat-sifat manusia. Mereka berkesempatan untuk menentukan batasan-batasan; batas untuk kapan memberi dan kapan menerima, batas untuk bersahabat, menyapa, dan jangan lupa, mereka juga menentukan batas yang mengharuskan mereka menghardik manusia. Banjir di musim hujan, dan fenomena mutahir seperti gempa di Padang dan Bima mengindikasikan bahwa alam mampu menghardik manusia.
Etika kesadaran
Saat ini berbagai upaya solutif dan gerakan peduli lingkungan kerap kali digalakkan. Beberapa pengamat dan aktivis lingkungan juga turut menyemarakkan aksi peduli lingkungan dengan caranya masing-masing. Ada yang memberikan solusi dengan menyubsistemkan pendidikan lingkungan di lembaga edukasi hingga aksi jalanan menuntut pemerintah yang terlalu gagap menindak mafia kejahatan lingkungan.
Dalam sudut pandang penulis, agaknya mental perusakan lingkungan sudah merasuki alam ketidaksadaran masyarakat yang termanifestasi dalam perilaku keseharian mereka. Seperti membuang rokok yang terbiasa “melupakan” tempat sampah, atau dengan sengaja mencemari sungai dengan limbah, baik limbah industri maupun domestik. Analisis Freud tentang kesadaran menjelaskan bahwa pengaruh pikiran (mental) prasadar dan pikiran bawah sadar (ketidaksadaran) muncul dalam berbagai cara, misalnya mimpi, hal-hal yang tampaknya terjadi secara kebetulan (perilaku), mitos, cerita, dan salah ucap ala Freud (Freud slips).
Seperti yang kita tahu, masyarakat menyulam jaring kehidupannya melalui ekosistem ekologis di lingkungan ini. Dengan “kelebihan” yang dimiliki, seharusnya masyarakat bertanggung jawab terhadap baik-buruknya kualitas lingkungan yang bersentuhan langsung dengan mereka. Perlu upaya lebih untuk membangun kesadaran masyarakat akan keterlibatannya dengan lingkungan.
Ada tiga etika kesadaran yang bisa diterapkan pada masyarakat untuk melawan mental perusakan lingkungan. Pertama, memiliki pemahaman sadar bahwa sejatinya masyarakat merupakan bagian dari alam, tidak lagi terdistansi dari alam. Jika perlu, masyarakat harus mengakui bahwa keberlangsungan hidupnya merupakan rangkaian kerja sama antara diri manusia (masyarakat) dengan alam (lingkungan).
Kedua, meneruskan gagasan Aristoteles dan Spinoza, manusia (masyarakat) merealisasikan hidupnya dengan mengembangkan potensi dirinya. Realisasi diri di sini memiliki pengertian ecological self, yakni manusia harus mampu membangun upaya sinergis dengan lingkungan membentuk kesatuan yang radikal.
Terakhir, masyarakat harus mengakui dan memberikan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas lingkungan dalam sebuah relasi yang saling membutuhkan. Dari sini kita akan memahami bahwa masyarakat bisa menjalin hubungan harmonis dengan lingkungan dan melahirkan kebersamaan yang saling menguntungkan; simbiosis mutualisme.
Ketiga etika kesadaran di atas merupakan media untuk menghasilkan perubahan dan pencerahan masyarakat untuk memahami kedudukan lingkungan dan kehidupan. Memiliki etika kesadaran lingkungan bukan hanya timbulnya wujud rasa sesal dan jera, melainkan mampu menghadirkan atmosfir perubahan radikal terhadap pola perilaku masyarakat secara mendasar terhadap kesatuan diri dengan lingkungan. Jika mental ini “dirayakan” di ruang publik, kerusakan lingkungan di Jatim berpeluang besar untuk direduksi.(*)

Baca lanjutannya ...