RĂ©aliser "Commonwealth" Man

Minggu, 29 November 2009

Mewujudkan ”Persemakmuran” Manusia



Oleh AGUS SAKTI

Judul Buku : Kaum Miskin Bersatulah
Pengarang : Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book—Yogyakarta
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : 218 halaman

Salah kaprah. Ya, inilah kata yang pantas untuk disemayamkan pada penelitian yang tergesa-gesa menjelaskan bahwa kemiskinan terjadi lantaran manusia tidak produktif. Sekilas tanpa penjelasan yang memadai kita akan mudah mengamini konklusi ini. Tapi, jika melihat klausul realita yang ada, kita akan memilih sikap yang lain. Bahkan berseberangan dengan itu. Dalam kritik sejarah, kesimpulan tadi merupakan dampak dari paham positivistik yang menjadikan manusia (subjek) berdistansi dengan fakta sosial (objek).
Mari kita kroscek, bukankah jika kita melihat petani yang rela bangun pagi, menyaingi kokok ayam jantan, untuk mengairi sawah hingga bedug berkumandang layak dikatakan tidak produktif? Apakah pedagang pasar yang membuka standnya mulai jam sepuluh malam hingga jam duabelas siang juga bisa dilabeli status tidak produktif? Sejatinya, kemiskinan merupakan dampak dari minimnya lapangan pekerjaan. Rangkaian kata yang tersusun di buku Kaum Miskin Bersatulah ini secara implisit meneriakkan bahwa seharusnya birokrasi bertanggung jawab dengan tragedi kemiskinan ini.
Dalam sebuah aturan negara, kita akan menemukan bahwa orang miskin merupakan tanggung jawab negara. Sementara pada kenyataannya, negara masih gagap mengambil langkah tegas untuk menyelamatkan kaum miskin yang keberadaannya amat menggenaskan. Betapa tidak, status mereka kerap dimarginalkan, akses pendidikan dikebiri, akses kesehatan dibatasi, tak jarang mereka juga mengalami kriminalisasi hak-hak publik (public rights). Dalam proyek politik, nama mereka merupakan senjata paling ampuh untuk mengegolkan proposal. Sungguh ironis, mereka ”disiksa” oleh saudara sendiri.
Keberadaan sebuah negara yang tidak berkontribusi signifikan terhadap keberadaan masyarakat miskin justru terkesan seperti ”memeliharanya”. Kehadiran investor asing yang hanya menjadikan pribumi sebagai buruh pabrik merupakan salah satu potret yang bisa ditampilkan. Demikian halnya dengan minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia berelasi pada pendapatan, produktivitas, dan investasi masyarakat justru ”dirawat” keberadaannya oleh negara.
Sejarah kemiskinan
Jika dilacak melalui narasi sejarah, kemiskinan merupakan dampak dari kemegahan arus globalisasi. ”Perayaan” arus globalisasi yang mengagungkan ilmu pengetahuan telah mampu membawa lokomotif peradaban manusia menuju pencerahan. Ini dimulai sejak revolusi industri di Inggris yang menemukan mesin-mesin canggih. Dengan mesin itu, manusia semakin pintar, cerdas, cepat, lincah, cekatan, dan dimudahkan. Semua sisi kehidupan dimanjakan dengan pelayanan teknologi.
Kegagahan globalisasi disponsori oleh kapitalisme yang menempatkan modal sebagai pilar utama sebuah peradaban. Dinamika kehidupan ditentukan oleh tinggi-rendahnya modal kapital. Ini menjadi ”jargon” utama dunia saat ini. Beriringan dengan itu, jargon tersebut membuat gaung yang penuh dengan kisah heroik, tentang keberhasilan, narasi kesuksesan manusia dan kemajuan peradaban. Padahal, kisah tersebut melahirkan kisah lain yang tak kalah heroiknya. Di balik kisah ”kemenangan” itu, ada tragedi kemanusiaan yang amat tragis. Mereka yang kalah akan terpinggirkan, teralienasi, dan tidak lolos ujian globlasisasi. Itulah kaum miskin.
Serupa dengan buku ini, Samir Amin dalam Capitalism the Age of Globalization (1997), menjelaskan bahwa globalisasi sejatinya telah menciptakan dunia keempat yang begitu suram dan mencekam. Dunia inilah yang tempati oleh negera berkembang, seperti Indonesia, yang masih mengatur nafas untuk mengejar keelokan sayap keberhasilan negara Eropa (barat).
Dalam kajain materialisme Karl Marx, kita mengenal tahap kapitalistik sebagai salah satu aspek pendorong sejarah. Tahap ini ditandai dengan perayaan hingar-bingar produksi masal yang tersubsistem dalam revolusi industri (teknologi), modal, dan sumber daya alam (SDA) yang pada akhirnya ketiga pilar ini membentuk sebuah sistem yang kita kenal dengan sistem kapitalistik. Pada wilayah praktik, sistem ini melahirkan efek polarisasi yang membuat kesatuan masyarakat terdikotomi. Dari sini akhirnya kita mengenal masyarakat borjuis; yaitu mereka yang berpunya (memiliki modal) dan memiliki alat produksi (teknologi).
Kelompok kedua efek polarisasi sistem kapitalistik adalah hadirnya masyarakat proletar yang menjadi pendukung ”keberadaan” kaum borjuis. Proletar inilah representasi dari masyarakat miskin. Dalam pencaturan kapitalisme, masyarakat miskin merupakan lahan basah untuk dieksploitasi tenaganya sebagai buruh. Akses kehidupannya menjadi terbatas lantaran modal kapital yang dimiliki proletar amat minim. Pada tahapan selanjutnya, dengan sendirinya mereka akan terjangkit penyakit berbahaya; aliensi. Masyarakat yang teralienasi merasa tidak memiliki makna kecuali hidup di bawah dominasi borjuis.
Kemiskinan di Indonesia
Dalam narasi sejarah, Indonesia merupakan negara koloni. Salah satu ciri negara koloni adalah ketersediaan SDA yang melimpah. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, SDA yang ada di negara-negara Eropa kala itu cukup tiris, terbatas. Untuk menjaga keberlangsungan sistem kapitalisme, negera-negara itu harus mengekspansikan wilayahnya demi mendapatkan SDA. Tidak hanya Indonesia, negara-negara tertinggal yang tidak memiliki modal dan teknologi tetapi menyediakan SDA yang melimpah merupakan lahan basah yang untuk memanjakan sistem kapitalisme yang mulai ”kehausan”.
Jika Lenin mengetengahkan bahwa kolonialisme yang terjadi merupakan kapitalisme jilid II, buku ini membahasakannya dengan versi serupa tapi berbeda; kolonialisme adalah awal kemiskinan. Indonesia sebagai negara koloni memiliki struktur sosial, politik, dan ekonomi yang merepresentasikan dominasi modal kapital. Ini juga melahirkan polarisasi; yaitu colonized (kaum miskin) dan colonizer (pemiliki modal kapital).
Spirit yang ditulis dalam buku ini memiliki kemiripan dengan buku Dialektik der Aufklarung (1932) karya Thedor W Adorno dan Max Horkheimer yang diterjemahkan menjadi Dialectic of Enlightment (1987). Buku ini memimpikan kesetaraan (equality) yang berwujud pada emansipasi kaum miskin. Adorno dan Horkheimer dalam buku terebut menulis dua alternatif untuk mencapai persemakmuran itu; upaya subversif (versi yang berbeda dari mainstream) dan praksis emansipatoris.
Solusi kedua memberi jawaban bahwa jika masyarakat menginginkan kesetaraan dan pembebasan pada kaum miskin maka mereka harus netral dan menjadi satu bagian dari fakta sosial yang timpang (kaum miskin). Kesatuan ini mirip dengan gerakan AoP; sebuah kumpulan orang miskin dengan segala peluh yang memimpikan sebuah perubahan. AoP merupakan organ yang bertindak, bergerak dan memutuskan untuk maju melawan pemerintah atas kebijakannya yang menyengsarakan kaum miskin (hlm. 132). Pemerintah akhirnya menyerah dan berjanji mengabulkan permintaan mereka.
Buku ini merupakan salah satu bagian dari buku-buku propaganda. Seperti quote yang tercantum di cover belakang dengan mengutip suara John Steinbeck; Kapan saja orang berjuang supaya yang lapar bisa makan, aku akan berada di sana. Di balik itu, buku ini merupakan obat dari beberapa analisis, sabda politik, dan kegiatan sosial lainnya yang sudah saatnya menemukan endingnya. Semuanya butuh kesatuan dan perjuangan, sebagaimana apa ditulis Eko Prasetyo, Kaum Miskin, Bersatulah! (*)

Baca lanjutannya ...