érudits modérés de trace

Kamis, 03 Desember 2009



Jejak Ulama Moderat
Oleh AGUS SAKTI

Dalam narasi klasik historiografi pemuka agama di Indonesia, kita tidak sering mendengar adanya rohaniawan (agamawan) yang bersahabat karib dengan ilmu pengetahuan umum. Lingkungan keberagamaan yang mereka ciptakan memang berhasil membentuk pribadi yang alim, tapi kaku. Tidak moderat. Bahkan, bukan sebuah kekeliruan jika kita melihat adanya tokoh agama yang sengaja berdistansi jauh dengan sepak terjang pengetahuan.
Di agama Islam, kita mengenal kyai sebagai sosok agamawan yang diagungkan kedudukannya. Dalam komunitas santri, kyai merupakan sosok pribadi unggul, memiliki keagungan akhlak, dan kedalaman spiritual. Namun, dicermati dari sisi yang lain, kyai bukanlah sosok yang integratif. Kyai tidak mumpuni berbicara masalah sains, apalagi ihwal hukum dan tata negara.
Jika kita menemukan agamawan yang mampu mengawinkan ide kesejajaran antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan, bisa jadi, ini merupakan sebuah perbandingan dalam skala tertentu, langka. Hal inilah yang akan kita rasakan ketika menguliti sepak terjang Moh. Tolchah Mansoer. Doktor pertama keilmuan hukun dan Tata Negara Universitas Gadjah Mada ini juga dikenal sebagaik sosok agamawan tulen.
Sebagai pribadi akademisi, Mansoer merupakan pakar Hukum dan Tata Negara di UGM. Di kancah nasional, namanya tercatat dalam deretan pakar Hukum Tata Negara generasi kedua, segenarasi dengan Prof. Dr. Ismail Suny, SH., Prof. Dr. Sri Sumantri, SH., dan Prof. Dr. Harun al-Rasyid, SH (hlm. 204-205).
Sedangkan sebagai sosok agamawan, ia merupakan sosok seorang kyai. Dalam buku ini dijelaskan bahwa Mansoer beraliansi dengan organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai kyai, Mansoer meyebarkan ilmu agama. Tak jarang pula ia memberi ceramah dan khotbah dalam majelis ilmu.
Mansoer dikenal sebagai pribadi yang berhasil menyandingkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum dengan ”akur”. Potensi ini membuatnya memiliki pandangan kebangsaan nasionalisme-religius.
Hal tersebut dapat kita buktikan ketika ia mengatakan bahwa UUD 1945 yang terdiri dari pembukaan dan batang tubuhnya, sudah cukup bagi umat Islam Indonesia untuk mengembangkan segala cita-cita dan aspiransinya (hlm 208). Mansoer mengetahui dengan jelas bahwa Pancasila dan UUD 1945 memberikan ruang bagi umat Islam untuk menjalankan kewajiban syariatnya setelah mengetahui dan substansi dari konstitusi dan aspirasi yang berkembang di kalangan umat Islam.
Aspirasi umat Islam bisa direalisasikan melalui perwakilannya di parlemen dan pemerintah untuk mengatur dan melindungi umat Islam dalam menjalankan agamanya. Dari gejala ini kita bisa mengetahui, melalui kapabilitasnya, Mansoer juga fokus ngurusi umat Islam, terutama warga nahdliyin.
Buku ini menguraikan bagaimana biografi sosok ulama integratif (intelektual-kyai) calon Menteri Agama RI menggantikan Ahmad Dahlan ini secara kronologis. Sepak terjangnya di kancah politik juga berhasil dihadirkan di dalam buku ini dengan rangkaian bahasa yang tidak menyusakan untuk dipahami.
Sebagai representasi ulama dan kader NU, buku ini bisa dijadikan referensi tambahan bagi pengamat politik dan agama menjelang Muktamar ke-32 NU di Makasar. Selamat membaca. (*)

Judul Buku : KH. Moh. Tolchah Mansur; Biografi Profesor NU yang Terlupakan
Penulis : Caswiyono Rusydie Cakrawangsa, dkk.
Penerbit : Pustaka Pesantren—Yogyakarta
Cetakan : Oktober 2009
Tebal : xxxvi + 290 halaman
Dimuat di Harian Duta Masyarakat pada Ahad, 15 November 2009

0 komentar:

Posting Komentar