Digital Devices and Professionalism of Teachers

Selasa, 15 Desember 2009



Peranti Digital dan Profesionalisme Guru
Oleh AGUS SAKTI
Pernah dimuat di harian Malang Post, 30 November 2008


Di tengah konstelasi budaya informasi, bumi terasa semakin sesak dan menyempit. Dengan desain akselesarinya yang tinggi, mesin informasi atau teknologi informasi (TI) dapat menjangkau ke pelosok-pelosok negeri melalui beberapa program seperti program internet masuk desa yang telah dicanangkan oleh pemerintah beberapa waktu lalu.
Internet dan wi-fi menjadi saluran cepat penghubung seluruh belahan bumi dan peradaban antar umat manusia di muka bumi. Bumi yang zaman Colombus masih dianggap penuh misteri, tak terjangkau, liar dipisah oleh samudera ganas, kini menjelma menjadi kecil. Hanya dengan bantuan jaringan internet bumi bisa dijangkau dengan sentuhan tangan.
Selain internet, masyarakat kita saat ini juga lebih suka memilih media teknologi (televisi) untuk menggali sebuah pengetahuan dan informasi dari pada membaca buku. Buku seakan tidak berdaya menghadapi ketangguhan televisi dan internet dalam melahirkan informasi yang lebih mudah diperoleh, singkat, dan lebih aktual (cepat).


Kita semua mengetahui bahwa televisi adalah salah satu produk kemajuan teknologi. Dan salah satu indikator dari teknologi adalah memudahkan manusia dan memberi kenyamanan secara instan. Mendapati sebuah informasi dari televisi adalah sebuah kemudahan dan kenyamanan.
Meskipun demikian, teknologi memendam potensi besar menggiring manusia ke dalam jurang nirmanusiawi, tidak kreatif, tidak kritis, dan pesimistis. Aldous Huxley berhemat bahwa dosa televisi yang paling besar bukan karena mengalihkan kemauan berpikir menjadi gelak tawa, melainkan karena televisi menyebabkan ketidaktahuan orang akan apa yang ditertawakan dan mengapa telah berhenti berpikir.
Perubahan tradisi
Zaman informasi yang menyediakan digitalisasi pada semua sudut kehidupan tampak berimbas ke dunia pendidikan. Teknologi telah merubah drastis tradisi belajar dari tradisi lisan ke tradisi cetak kemudian menjadi tradisi digital. Dalam tradisi lisan, citra digital digambarkan seorang guru dikelilingi murid-muridnya yang duduk bersila penuh takzim mendengar tuturan sang guru. Begitulah yang dilakukan Sokrates ketika mengajar muridnya di Athena, Yunani. Cara serupa dilakukan Isa Almasih di Jerussalem saat mengajari dua belas muridnya (Al Hawariyuun) ajaran kasih sayang.
Tradisi tutur lisan berubah drastis setelah Guternberg dari Meinz Jerman berhasil menciptakan mesin cetak. Para murid tidak lagi terikat dengan wibawa oral sang guru, tetapi sebaran buku hasil cetak menjangkau wilayah geografis yang jauh lebih luas daripada jangkauan tradisi lisan.
Kegagahan tradisi lisan akhirnya tak berdaya menghadapi keelokan tradisi cetak. Setelah teknologi informasi mampu menyediakan gambar, tulisan, suara dalam satu sajian multimedia tradisi cetak pun kini dinilai usang, dan berubahlah menjadi tradisi digital. Citra seorang pelajar di era ini akhirnya tidak lagi ditandai dengan kebekuan diri dalam menenggelamkan wajah ke halaman buku, tetapi menghadap ke layar monitor komputer. Citra lebih umum saat ini adalah mengotak-atik laptop di area-area yang ada saluran wi-fi.
Perubahan-perubahan itu adalah sebuah keniscayaan sejarah dan merupakan amanat kemajuan peradaban manusia. Yang mengkhawatirkan bersama adalah runtuhnya nilai kemanusiaan anak didik di tengah eforia perubahan budaya. Inilah tanggung jawab pedagogis guru dalam memandang anak didik sebagai pelaku sejarah, bukan obyek sejarah. Kecemasan ini dulu pernah dirasakan Sokrates. Kala itu Sokrates menilai tradisi tulis sebagai kultur baru.
Dalam bukunya, Phaedrus, Plato sang murid menjelaskan bagaimana gurunya menolak tulisan sebagaimana juga menolak lukisan, “Sesuatu yang mengerikan tentang tulisan dan kebenaran adalah seperti lukisan. Maksud saya, ciptaan-ciptaan dari seorang pelukis berdiri seperti makhluk-makhluk yang hidup, tetapi jika Anda menanyakan sesuatu, mereka tetap membisu. Dan begitu halnya dengan tulisan; barangkali Anda berpikir bahwa mereka berbicara seolah-olah mereka memiliki kecerdasan, tetapi bila Anda mengajukan pertanyaan dengan maksud memperoleh informasi tentang apa yang dikatakan, tulisan hanya menyediakan jawaban tunggal” (dalam: Postman dan Weidartner, Mengajar sebagai Aktivitas Subversiv, 2001: 276).
Sokrates tidak semata-mata menolak tulisan atau lukisan. Efek tulisan dan lukisan yang menghilangkan ruang dialog interpersonal antara guru dan murid itulah yang ditolak. Bagi Sokrates, dialog interpersonal adalah penyambung rasa kemanusiaan.
Jauh berabad-abad kemudian sepeninggal Sokrates, dalam konteks transisi budaya informasi, Jerome Bruner, pakar psikologi pendidikan dari Amerika Serikat, menyuarakan lagi apa yang dikhawatirkan Sokrates. Bruner tidak semata-mata menolak hadirnya teknologi informasi, namun efek dehumanisasi pada anak didik yang dibawa budaya informasi itu yang dikhawatirkannya.
Dalam The Culture of Education (1996), Bruner mengingatkan, di tengah dominannya penggunaan teknologi informasi berbasis komputer, dunia pendidikan akan menghadapi budaya baru: kultur komputasi. Menurut dia, komputerisme adalah semacan nalar dan sikap pendidikan yang menjejali anak didik dengan hutan informasi. Laku belajar direduksi menjadi kegiatan menumpuk informasi, tetapi alpa memaknainya, merefleksikan, dan mengaplikasikannya pada hidup berbudaya.
Kompetensi pedagosis
Di sisi lain, hadirnya teknologi informasi di dunia pendidikan Indonesia juga dapat menjadi media alternatif dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar (KJM). Anak didik bisa memertajam nalar pengetahuannya melalui jendela internet. Guru bisa mengakses jurnal-jurnal ilmiah dalam dan luar negeri untuk menambah bahan ajar dan wacana lain ihwal hasil riset terkini.
Akan tetapi, romantisme mimpi seperti ini tidak boleh membuat seluruh sivitas akademika terlena. Supaya guru dan peserta didik tidak terjebak dalam kultur immobile dan tidak reflektif sebagaimana yang tersedia dalam software komputer mereka harus memiliki pemahaman terhadap hakikat pendidikan. Guru yang bijak selalu mengajak anak didiknya untuk selalu mewaspadai risiko kemanusiaan yang dibawa perubahan itu.
Selama ini pendidikan hanya mengusung nilai-nilai normativitas an-sich, nilai non-formal seperti pembentukan karakter, keterampilan, sikap, moral, etos, dan nasionalisme menjadi soft skill yang terabaikan dari peserta didik. Dalam kajian psikologi pendidikan, kasus seperti ini biasa diterjemahkan sebagai efek dehumanisasi peserta didik, dalam kaca mata Sokrates dikenal dengan runtuhnya nilai kemanusiaan. Bekal hidup yang kering dengan soft skill seperti ini akan menyulitkan anak didik di masa selanjutnya.
Oleh karena itu kita semua berharap para guru di Indonesia, terutama di Jawa Timur, memiliki kompetensi pedagogis, profesional, dan sosial yang nyata-nyata bisa dilaksanakan dalam praktik mengajar untuk mengantisipasi efek dehumanisasi dan teknologi informasi. Kapasitas seperti ini sejatinya menjadi sebuah idealisme, bukan sekadar kompetensi di atas sertifikat!

0 komentar:

Posting Komentar