Explore Environmental Awareness

Kamis, 14 Januari 2010




MENGGALI KESADARAN LINGKUNGAN
Dimuat di Harian KOMPAS Jatim, 13 November 2009
Oleh AGUS SAKTI

Di dalam media ini pernah dilansir sebuah warta yang menjelaskan bahwa Bidang Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jatim menyebutkan, terdapat 86 industri potensi pencemaran tinggi terhadap Sungai Brantas mulai hulu hingga hilir. Perusahaan-perusahaan itu antara lain perusahaan kertas, pabrik gula, dan pengelolahan logam (Kompas, 16/10). Sujujurnya, realitas ini semakin meneguhkan bahwa manusia saat ini sudah berdistansi dengan lingkungan.
Di Kota dan Kabupaten Malang, telah diketahui setidaknya ada tujuh industri besar yang membuang limbah dengan kadar bahan kimia melebihi standar baku mutu limbah Sungai Brantas. Diduga, perusahaan-perusahaan ini menegasikan prosedur pengelolahan di instalasi pengelolahan air limbah. Dalih mereka cukup klasik; penghematan biaya produksi.


Berbarengan dengan itu, di Surabaya, pelaku pencemaran Kali Surabaya juga berhasil diidentifikasi. Saat ini kita tahu setidaknya ada enam perusahaan pencemar yang sudah berulang kali mencemari Kali Surabaya. Keenam perusahaan itu adalah PT ADS, PT SAK, PT SMB, PT S, PT M, dan PT APP (Kompas, 8/10). Namun, mereka masih tidak lagi jera untuk mengulangi perbuatan yang persis. Setelah diusut, ternyata sanksi yang mereka terima cukup meringankan. Berdasarkan informasi yang ada, mereka hanya dijatuhi sanksi berupa denda Rp 5 juta.
Padahal, sebagai masyarakat Jatim kita tahu sampai saat ini PDAM Surabaya masih menjadikan air Kali Surabaya sebagai air baku yang akan diolah dan selanjutnya didistribusikan ke pelanggan PDAM di Surabaya yang tercatat sekitar 1,9 juta kepala keluarga. Bahasa sederhananya, rantai kehidupan masyarakat Surabaya bertalian erat dengan baik buruknya kualitas air Kali Surabaya. Ternyata sanksi di atas tidak cukup sebanding dengan dampak yang diakibatkan.
Jika kita sepakat, pencemaran lingkungan berkorelasi signifikan terhadap keberlangsungan hidup manusia dan spesies lain. Kita masih ingat, pada tahun 2007 lalu bagaimana kematian ikan berton-ton di pertanian budidaya ikan jaring sekat di hulu Bendungan Sutami, Sumberpucung, Malang. Pencemaran ini disebabkan karena pembuangan liar limbah industri ke Sungai Brantas, sumber induk Sungai Sutami. Dari bagian ini kita mafhum bahwa tidak hanya spesies manusia yang dirugikan.
Masalah lingkungan yang lain adalah regulasi pemerintah terhadap ruang terbuka hijau (RTH) yang dinilai gagap pada beberapa kota di Jatim. Porsi ideal yang dicanangkan dalam setiap kota adalah sebesar 30% dari luas wilayah belum sepenuhnya tergarap.
Diakui maupun tidak, fenomena perusakan lingkungan yang dilakukan dengan sengaja, menyebutkan manusia saat ini memiliki cara pandang yang bertumpu pada logika Cartesian, yang menempatkan manusia teralienasi (terpisah) dengan alam. Bahkan terkesan menempatkan manusia sebagai penguasa tunggal alam yang pada tahapan selanjutnya mengakibatkan mereka rakus, berperilaku eksploitatif terhadap isi alam.
Meminjam kritik Muhammadun AS (2006) dalam Menegakkan Etika Ekosentrisme, ia menjelaskan bahwa alam juga menyimpan sifat-sifat manusia. Mereka berkesempatan untuk menentukan batasan-batasan; batas untuk kapan memberi dan kapan menerima, batas untuk bersahabat, menyapa, dan jangan lupa, mereka juga menentukan batas yang mengharuskan mereka menghardik manusia. Banjir di musim hujan, dan fenomena mutahir seperti gempa di Padang dan Bima mengindikasikan bahwa alam mampu menghardik manusia.
Etika kesadaran
Saat ini berbagai upaya solutif dan gerakan peduli lingkungan kerap kali digalakkan. Beberapa pengamat dan aktivis lingkungan juga turut menyemarakkan aksi peduli lingkungan dengan caranya masing-masing. Ada yang memberikan solusi dengan menyubsistemkan pendidikan lingkungan di lembaga edukasi hingga aksi jalanan menuntut pemerintah yang terlalu gagap menindak mafia kejahatan lingkungan.
Dalam sudut pandang penulis, agaknya mental perusakan lingkungan sudah merasuki alam ketidaksadaran masyarakat yang termanifestasi dalam perilaku keseharian mereka. Seperti membuang rokok yang terbiasa “melupakan” tempat sampah, atau dengan sengaja mencemari sungai dengan limbah, baik limbah industri maupun domestik. Analisis Freud tentang kesadaran menjelaskan bahwa pengaruh pikiran (mental) prasadar dan pikiran bawah sadar (ketidaksadaran) muncul dalam berbagai cara, misalnya mimpi, hal-hal yang tampaknya terjadi secara kebetulan (perilaku), mitos, cerita, dan salah ucap ala Freud (Freud slips).
Seperti yang kita tahu, masyarakat menyulam jaring kehidupannya melalui ekosistem ekologis di lingkungan ini. Dengan “kelebihan” yang dimiliki, seharusnya masyarakat bertanggung jawab terhadap baik-buruknya kualitas lingkungan yang bersentuhan langsung dengan mereka. Perlu upaya lebih untuk membangun kesadaran masyarakat akan keterlibatannya dengan lingkungan.
Ada tiga etika kesadaran yang bisa diterapkan pada masyarakat untuk melawan mental perusakan lingkungan. Pertama, memiliki pemahaman sadar bahwa sejatinya masyarakat merupakan bagian dari alam, tidak lagi terdistansi dari alam. Jika perlu, masyarakat harus mengakui bahwa keberlangsungan hidupnya merupakan rangkaian kerja sama antara diri manusia (masyarakat) dengan alam (lingkungan).
Kedua, meneruskan gagasan Aristoteles dan Spinoza, manusia (masyarakat) merealisasikan hidupnya dengan mengembangkan potensi dirinya. Realisasi diri di sini memiliki pengertian ecological self, yakni manusia harus mampu membangun upaya sinergis dengan lingkungan membentuk kesatuan yang radikal.
Terakhir, masyarakat harus mengakui dan memberikan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas lingkungan dalam sebuah relasi yang saling membutuhkan. Dari sini kita akan memahami bahwa masyarakat bisa menjalin hubungan harmonis dengan lingkungan dan melahirkan kebersamaan yang saling menguntungkan; simbiosis mutualisme.
Ketiga etika kesadaran di atas merupakan media untuk menghasilkan perubahan dan pencerahan masyarakat untuk memahami kedudukan lingkungan dan kehidupan. Memiliki etika kesadaran lingkungan bukan hanya timbulnya wujud rasa sesal dan jera, melainkan mampu menghadirkan atmosfir perubahan radikal terhadap pola perilaku masyarakat secara mendasar terhadap kesatuan diri dengan lingkungan. Jika mental ini “dirayakan” di ruang publik, kerusakan lingkungan di Jatim berpeluang besar untuk direduksi.(*)

0 komentar:

Posting Komentar