Choose, Being Liberal or Progressive?

Senin, 18 Januari 2010



Pilihlah, Menjadi Liberal atau Progresif!
Oleh AGUS SAKTI

Judul Buku: Para Pembela Islam: Pertarungan Konservatisme dan Progresif di Tubuh Muhammadiyah
Penulis: Pradana Boy ZTF
Penerbit: Gramata Publishing—Jakarta
Cetakan: I, 2009
Tebal: xxxvi + 290 halaman
ISBN: 978-602-95325-6-2

Ketegangan, untuk tidak menyebutnya pertentangan, antara dua kelompok konservatif dan progresif, di tubuh Muhammadiyah semakin berjarak dengan kata damai. Bahkan, dalam perkembangannya, hubungan dialektis keduanya telah melahirkan lingkaran setan. Jika progresivisme lahir sebagai respon terhadap tendensi konservatif Islam di Muhammadiyah, kelompok progresif pulalah yang memacu konservatisme lebih serempak dan sistematis dalam Muhammadiyah. Demikian kira-kira vonis buku ini, sehingga kita perlu mencari tahu bagaimana akar penyebab permasalahan yang sedang terjadi.
Dalam beberapa tahun belakangan, tidak banyak orang yang mengikuti riwayat ketegangan antara kedua kelompok ini. Siapa yang lebih benar, dan siapa yang lebih pantas dibela argumennya. Berangkat dari kegelisahan tersebut buku ini mencoba melacak akar intellectual gap pada kedua kelompok tersebut terhadap kenyataan yang jelas bagaimana mereka mengartikulasikan sejumlah pendapat. Kelompok progresif memiliki kebiasaan menggunakan argumentasi-argumentasi yang lebih sophisticated dan merujuk pada sumber terpercaya dalam konteks akademis, sementara kelompok konservatif lebih menyukai perkataan-perkataan atau pernyataan-pernyataan yang tidak mengandung dimensi intellectual exchange.


Gerakan fundamentalisme
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan pemikiran Islam tengah berkembang pesat. Proses itu memberikan pengaruh yang tidak sama terhadap beberapa kelompok dan organisasi ideologis. Perdebatan itu pada gilirannya menampakkan dirinya sebagai sebuah polemik. Bahkan, hal ini terjadi pada sebuah organisasi ideologis sekali pun. Dalam perjalanannya, polemik tersebut berpeluang menaikkan kualitas perdebatan tersebut menjadi sebuah hegemoni yang menakutkan.
Di NU, misalnya, kita dapat menyaksikan bagaimana terjadi aksi penolakan terhadap wacana Islam liberal saat berlangsungnya Muktamar NU yang terakhir. Penolakan tersebut berlanjut, dari penolakan terhadap pemikiran, hingga penolakan terhadap figur-figur yang dianggap mempromosikan gagasan Islam liberal hingga keterlibatannya di kepengurusan berikutnya.
Sedangkan di Muhammadiyah, juga telah terjadi perdebatan akut tentang wacana pluralisme. Organisasi yang menunjukkan eksistensi dirinya sebagai organisasi Islam modern dan rasional ini tengah terjadi gelombang penolakan terhadap pemikiran Islam liberal. Sebuah pemikiran berani yang diusung dari kelompok progresif di tubuh Muhammadiyah. Suara penolakan itu terdengar sayup-sayup yang belakangan menjadi semakin nyaring dan mencoba menggempur pemikiran yang dianggap sebagai “yang mendukung kepentingan Dunia Barat” ini.
Pemikiran tersebut mencoba mempromosikan gagasan ekstrem yang banyak menegur perhatian umat Islam akhir-akhir ini, di antaranya adalah gagasan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Gagasan tersebut tidak lagi menjadi diskursus intelektual di kalangan akademisi muda, melainkan berubah menjadi kekuatan yang dapat dijumpai sebagai sebuah hegemoni, tepatnya hegemoni kelompok konservatif terhadap keberlangsungan pemikiran kelompok progresif di organisasi ini.
Pradana Boy ZTF melalui buku yang ditulis dari pengembangan dan penyesuaian untuk tesis dan masternya di Australian National University (ANU), Canberra, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Para Pembela Islam; Pertarungan Konservatif dan Progresif di Tubuh Muhammadiyah ini menganggap kedua hal tersebut sebagai sebuah kenyataan yang tak terbantahkan di Muhammadiyah. Boy, dalam keterangannya lebih lanjut, memberikan uraian tentang kelompok konservatif dalam organisasi Islam Muhammadiyah teramat gigih menyerukan agar organisasi ini membentangkan keberadaannya dan menjaga posisi puritannya serta melindungi Islam dari resonansi peradaban luar yang berpeluang besar membuat keruh kemurnian ajaran-ajaran Islam.
Dalam posisi yang diametris, menurut Boy, kelompok progresif dapat dilukiskan sebagai agen marketing yang memroduksi respon dan lebih lentur terhadap isu-isu baru dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Dengan bekal pemahaman bahwa keberadaan Muhammadiyah dikenal sebagai salah satu organisasi yang mempromosikan pembaruan Islam, kelompok ini berkeyakinan, seharusnya Muhammadiyah lebih permisif terhadap perkembangan keilmuan, khususnya keislaman kontemporer. Sikap tertutup terhadap keislaman kontemporer bukanlah ciri dari Muhammadiyah itu sendiri, melainkan karakter dari kelompok konservatif. Inilah yang pada tahapan selanjutnya oleh Amin Abdullah dianggap sebagai kemandegan intelektualisme di Muhammadiyah.
Seperti yang terjadi di beberapa kelompok ideologis lainnya, kelompok konservatif dihuni oleh beberapa kader senior Muhammadiyah yang militan, dan sebaliknya, kelompok progresif disemarakkan oleh kader-kader muda yang memiliki kecenderungan intelektual lebih tajam. Sudah sekian lama organisasi ini mendapat buaian pujian karena memiliki sejumput kader intelektual. Namun, beberapa tahun terakhir, ini juga menjadi kecemasan lantaran organisasi ini mengalami “krisis” intelektual pada generasi yang lebih mudah (hlm. 84). Kenyataan ini bisa menjadi sebuah pembenaran terjadinya stagnasi intelektual dan kesenjangan antar generasi di tubuh Muhammadiyah.
Dalam hemat Boy, membiarkan Muhammadiyah dalam keberadaannya yang sedang mengalami stagnasi intelektual sama artinya dengan mendambakan Muhammadiyah melangsungkan gerakan konservatifnya. Stagnasi intelektual dapat dicirikan dengan lahirnya sikap dingin yang berdistansi jauh dari kesadaran untuk menyikapi realita dan isu-isu yang sedang berkembang. Pada titik yang lebih ekstrem, kengganan untuk berdialektika dengan isu kontemporer ini menyebabkan Muhammadiyah layak disandarkan dengan gerakan konformisme imitatif (taqlid). Inilah sifat dasar konservatif.
Bagaimanapun juga, meminjam istilah Muhammad Abduh, konservatisme merupakan cikal bakal gerakan fundamentalisme yang dalam tesis Keren Armstrong sebagai musuh besar abad ini. Dan, Boy, melalui buku ini, ingin mendendangkan sebuah risalah tandingan terhadap keberadaan gerakan Islam tradisionalis yang secara total menolak segala bentuk perubahan.
Tafsir (kebenaran) otentik
Dalam perjalanannya, kekuatan hegemoni kelompok konservatif merupakan salah satu gejala yang paling berpengaruh. Dalam sebuah misal, kita dapat menengok tragedi pemecatan salah satu dosen pengajar di Universitas Muhammadiyah, Gresik, Moh. Shofan, lantaran menulis artikel di salah satu surat kabar yang berumbul Natal dan Pluralisme Agama. Di tempat terpisah, artikel ini juga di-posting di situs resmi Jaringan Islam Liberal (JIL). Pihak kampus dan pengurus Muhammadiyah setempat menganggap perbuatan Shofan yang mengucapkan selamat hari natal kepada umat kristiani dianggap absen dari akidah Islam dan menyimpang dari ajaran Muhammadiyah (hlm. 149).
Bukan hanya itu, kejadian yang serupa juga dialami Dawam Rahardjo, tokoh senior Muhammadiyah. Dawam didepak dari strutktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai konsekuensi yang telah dilakukannya. Pemecatan Shofan dan Dawam semakin menguatkan kenyataan perselisihan yang terjadi pada dua kelompok pemikir di tubuh Intelektual.
Boy, bahkan, secara terang-terangan berani menulis bahwa Muktamar Muhammadiyah ke-45 yang dihelat di Malang pada pertengahan 2005 lalu menandai adanya pergeseran jurang perbedaan antara pemikiran moderat menuju pemikiran konservatif. Ini didasari dengan menguatnya peristiwa untuk melawan sejumlah isu kontemporer semacam pluralisme, multikulturalisme, liberalisme, dan kesetaraan gender pada saat itu (hlm. 1). Bahkan, beberapa pengamat, seperti William Liddle, menyebut terpilihnya Din Syamsuddin sebagai ketua umum Muhammadiyah sebagai kemenangan dari kelompok Muhammadiyah.
Boy menyadari, kedua pandangan yang menyebutkan perbedaan antara kedua kelompok progresif dan konservatif di organisasi ini seperti jurang pemisah yang semakin mengangga. Misalnya, dalam perjalanannya, kelompok konservatif memiliki beberapa tudingan terhadap kelompok progresif. Seperti, “yang tidak berkesesuaian”, penghancur pilar-pilar muhammadiyah, pendukung kepentingan dunia Barat, bahkan dicap sebagai laisa minna (bukan golongan kami) (hlm. 153-183). Hubungan dialektis antara kedua kelompok ini benar-benar melahirkan lingkaran setan. Bahwa sementara progresivisme lahir sebagai respons terhadap tendensi konservatif di Muhammadiyah, adalah progresivisme ini juga memicu konservatisme yang serempak dan lebih sistematis dalam Muhammadiyah.
Ahmad Syafii Maarif, ketua umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005, dalam pengantarnya di buku ini, menganggap kedua kubu tersebut sedang mengeja tafsir kebenaran atas Muhammadiyah “yang otentik” (hlm. vi-vii). Ini adalah sebuah realita dan kelaziman, meskipun tidak sedikit yang berkecenderungan di Muhammadiyah untuk menyembunyikan dan menutupi fakta ini, dengan misalnya mengatakan bahwa konflik pemikiran yang terjadi di Muhammadiyah merupakan pencitraan media massa.
Sudah barang tentu, secara tidak tertulis, Boy mendambakan setiap intelektual Muhammadiyah untuk selalu berpikir kritis terhadap perkembangan zaman. Inilah sejatinya dengan apa yang menjadi pedoman organisasi ini, kembali ke al-Qur’an dan hadis. Harapanya, dengan demikian kita tidak melulu menerima sebuah ajaran doktriner tanpa merelevansikan dengan perkembangan zaman, tapi sebaliknya, mampu menggunakan prinsip-prinsip dasar untuk menghasilkan ajaran itu sendiri.
Melalui buku ini, kita diajak untuk menjauhi paham buta yang merugikan dan selalu berpikir positif dalam setiap persoalan. Selain itu, karya ini mencoba menghadirkan pandangan kritis untuk menyajikan apa adanya fakta yang akhir-akhir ini berkembang di Muhammadiyah, utamanya dalam ranah pemikiran Islam. Dan, penulis mengajak pembaca, terutama kader Muhammadiyah, untuk segera bereksistensi mengambil sikap untuk memurnikan tafsir kebenaran di Muhammadiyah sebagaimana quote yang dibubuhkan penulis pada halaman pertama buku ini saat bedah buku di Perpustakaan Kota Malang: “Pilihlah, menjadi liberal atau progresif!” (*)

0 komentar:

Posting Komentar