Hajj Revolution

Rabu, 20 Januari 2010



Revolusi Haji
Oleh AGUS SAKTI

Salah satu tanggung jawab para peserta haji adalah menjadikan ibadah haji yang dilaksanakannya sebagai media untuk menghadirkan pencerahan bagi masyarakat secara umum. Realitas pengangguran, kemiskinan, dan diskriminasi hak-hak publik (public rights) kaum pinggiran merupakan akibat dari minimnya tanggung jawab dan kesadaran sosial komunitas beragama. Kondisi ini harus segera direvolusi jika kita sama-sama mengidealkan persemakmuran masyarakat yang sejahtera.
Di negeri ini, hampir setiap tahun masyarakatnya melakukan “transmigrasi” religi ke kota Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Saking semangatnya, mereka rela mengantri hingga berderet-deret. Dalam beberapa narasi surat kabar, mereka merelakan dirinya duduk dalam antrian menahun; dua hingga tiga tahun.


Jika kita sama-sama sepakat orang yang pergi haji merupakan orang yang berkecukupan—jika tidak mau disebut kelebihan—secara ekonomi. Sedangkan banyaknya peserta haji yang rela menunggu giliran hingga beberapa tahun, setidaknya, (juga) melukiskan banyaknya orang yang berkecukupan di negeri ini. Pada waktu yang telah ditentukan, mereka akan mendapat giliran. Beriringan dengan waktu itu pula mereka akan bermetamorfosis menjadi sosok yang dipandang memiliki standard yang cukup menjadi pribadi yang salih secara personal; “Pak Haji”.
Diakui maupun tidak, sepulang dari tanah suci, masyarakat mendambakan sosok “Pak Haji” sebagai pribadi haji yang sukses; mabrur. Haji mabrur, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw, memiliki ciri, pertama, ayyakuna tibil kalam (setelah haji omongannya enak, manis, menyenangkan, tidak lagi menyakiti orang). Kedua, ifsaus salam (mendambakan kedamaian). Terakhir, it’amuth tha’am (memiliki jiwa sosial yang semakin tinggi). Singkatnya, haji yang mabrur adalah pribadi yang berdistansi dengan kemaksiatan dan meningkatkan kebaikan sosialnya.
Religuitas biner
Berhaji, secara teologis, berarti menggenapkan rukun agama. Melaksanakan ibadah haji sama artinya dengan menggugurkan rukum Islam yang terakhir. Secara moral kesuksesan ibadah haji merupakan cerminan kesalihan personal. Ini dapat dinilai cukup mumpuni untuk meneguhkan spirit kesalihan sosial kepada masyarakat. Artinya, atmosfir kesalihan sosial harus mereka hadirkan secara fundamental.
Pentingnya kesadaran sosial dalam nalar ibadah banyak dikaji oleh cendekiawan muslim. Mohammad Arkoun dalam Al-Fikrul Islâmy; Naqd wa Ijtihâd memberikan tesis bahwa kuatnya “nalar teologis” (al-‘aql aqâidî) harus diimbangi dengan pemahaman problem kemanusiaan (pembebasan manusia) supaya makna ibadah bisa lebih seimbang. Demikian halnya dengan laku ibadah haji, spirit kesuksesan spiritual harus selaras dengan kesalihan sosialnya. Kesalihan sosial bisa tersubsistem dalam beberapa sikap yang melaju dalam lokomotif persemakmuran manusia. Di bagian ini tanggung jawab moral “Pak Haji” diuji.
Saya ingin kembali ke permasalah awal, antrian calon peserta haji yang menahun tadi sudah kita sepakati sebagai cerminan masyarakat yang berkecukupan. Mereka juga bernilai “plus” dan cukup standard kesalihan personalnya. Kesalihan personal ini menjadi media penting bagi lahirnya spirit pembaruan, pemberdayaan, dan pencerahan, yang bukan hanya berdampak pada kesuksesan spiritual secara individual, tetapi juga sosial (kemanusiaan).
Kesadaran seperti itu cukup sulit ditemukan. Bahkan, agaknya berjungkir-balik dengan realitas (kemanusiaan) yang ada. Jika pembaca kurang sepaham, ijinkan saya menghadirkan memori tentang penderitaan kaum “pinggiran”. Di tempat kumuh mereka kelaparan, berkeliaran di jalan(an), beranak-pinak di bawah jembatan, dimarginalkan statusnya, dikebiri haknya, diplokoto citranya di seminar. Tak jarang, statusnya dimanfaatkan menjadi bahan penyempurna proposal penguasa. Ironis, bukan?
Lantas, sebagaimana yang kita sepakati bersama, bukankah status haji berkorelasi signifikan dengan pola hidup berkecukupan? Bahkan (ke)lebih(an)? Tidak sedikit komunitas beragama di zamrud katulistiwa ini yang telah “lulus” menunaikan ibadah haji, mulai dari petani kampung hingga presiden tapi tidak sedikit pula masyarakat yang merayakan kemiskinan di sekitarnya. Mereka dinistakan, dibohongi, bahkan dikriminalisasi hak-hak publiknya.
Sebuah realitas yang berkebalikan, hitam-putih. Biner. Tampaknya laku ibadah masyarakat agama di negeri ini mulai banyak yang terjebak dalam ritus formalitas an sich. Yang gagal diupayakan adalah modal besar spirit ritus ibadah yang selalu menjunjung tinggi jurisprudensi riligius (fikih oriented) tapi representasi moral (akhlak)-nya dicukur gundul. Ihwal ini, saya teringat kritik pedas esais kawakan Mustofa Bisri yang melukiskan bagaimana buruknya perilaku ibadah haji yang menegasikan problem kemanusiaan.
Bisri bercerita bagaimana batu hitam yang tersudut di Kakbah, dekat Multazam, diburu oleh jutaan manusia dari tiap jengkal dunia. Mereka berburu hingga saling jegal, saling sikut, saling dorong, untuk mencium batu hitam tersebut. Seolah mencium hajar aswad adalah bagian dari ibadah haji seperti ihram, thawaf, sa’i, melempar(i) tugu jamarat (lempar jumrah), mabit, dan wukuf.
Saya kurang bisa menerima spirit apa yang sebenarnya mereka usung untuk menyempurnakan haji mereka. Jika di tanah suci saja mereka sudah “keluar jalur”, lantas bagaimana ketika mereka hadir kembali di tanah air? Mereka terkesan seperti mencari pemodalan belaka. Sebuah modal penghormatan. Pembaca pasti tahu, ini sangat ampuh untuk mendongkrak derajat elit(isme) seseorang di masyarakat. Apalagi di daerah tertentu (kampung), predikat “Pak Haji” dan “Ibu Hajjah” merupakan status yang diagungkan.
Kesadaran sosial
Komunitas beragama yang gemar mengupayakan kesuksesan personal dalam beribadah, idealnya menjadikan momen haji untuk menghidupkan spirit pembaruan, pemberdayaan, dan pencerahan bagi masyarakat lainnya. Akan lebih baik jika ini menjadi opsi prioritas ketimbang menjalankan pola keberagamaan yang melulu mengedepankan fikih oriented. Meminjam penjelasan Ali Syariati dalam Makna Haji, haji merupakan salah satu pilar dari doktrin agama terpenting yang memotivasi bangsa muslim dan menjadikan warganya sadar, bebas, terhormat, dan bertanggungjawab secara sosial.
Dari deret antrian wating list panitia haji, kita tahu begitu banyak umat beragama yang “terjebak” dalam jurisprudensi religi daripada kewajiban berakhlak. Kita juga tidak jarang mendengar sebuah risalah kehidupan bagaimana pribadi yang rajin shalatnya dan kerap mengumandangkan nama Tuhan di ruang publik tapi juga khusuk korupsinya. Paradok.
Haji sebagai momen untuk meneguhkan kesasadaran sosial bukan hanya dalam wujud sikap yang berdistansi dengan kemaksiatan dan meningkatnya amal kebaikan, melainkan juga mampu mengintroduksi nafas perubahan secara progresif yang bercorak memberi pencerahan bagi masyarakat secara revolusioner. Andai seluruh “Pak Haji” dan “Ibu Hajjah” menggalakkan spirit seperti ini, persemakmuran masyarakat beragama akan mudah diwujudkan.(*)

0 komentar:

Posting Komentar