MERENUNGI PERMAINAN TRADISIONAL

Jumat, 22 Januari 2010

MERENUNGI PERMAINAN TRADISIONAL
Oleh AGUS SAKTI
". . . tengah musim 2007"


Gatri ala gatri nagasari, ri
Riwul owal awul jenang katul, tul
Tolen alen-alen jadah manten, ten
Titenana besuk gedhe dadi apa, pa
Podheng mbako enak mbako sedheng, dheng
Dhengkok eyak-eyok dadi kodhok

Sepengagal bait lagu di atas biasanya digunakan sebagai instrumen pengiring permainan tradisional gotri. Selain permainan ini, cublak-cublak suweng juga memiliki instrumen lagu tertentu yang digunakan sebagai simbol bahwa permainan tersebut baru saja dimulai. Baik lagu pengiring permainan tradisional gotri maupun cublak-sublak suweng kini tak lagi sering dinyanyikan oleh anak-anak di halaman rumah, bahkan hampir tidak ada.
Alih-alih memeriahkan permainan itu, mengenal dan mengerti aturan main saja mereka tidak menahu. Saat ini mereka lebih mafhum mengoperasikan game komputer yang menyediakan seperangkat permainan yang lebih canggih. Game on line juga berhasil memikat hati mereka beradu tangkas satu dengan lawan permainan yang lain.
Permainan ini lebih banyak dikenal dengan model permainan yang mengedepankan aktivitas otak dari pada fisik. Padahal, permainan tradisional juga tidak melulu melakukan tindakan fisik, akan tetapi keterlibatan otak juga kerap dibutuhkan dalam permainan ini. Sebut saja permainan dhakon, permainan yang diadopsi dari filosofi bertani ini menuntut anak supaya berpikir bagaimana cara petani mendapatkan hasil sebanyak mungkin dan kemudian disimpan di dalam lumbung.

Selain itu, kemampuan menjalin relasi sosial dengan individu lain merupakan sebuah tuntutan pada permainan tradisional lainnya. Gobak sodor, misalnya. Warisan wong londo ini menghendaki anak untuk saling bertemu dan berkomunikasi dengan anak-anak yang lain. Mereka akan termotivasi berlatih banyak hal, antara lain melatih mereka melakukan kerjasama, menelurkan konsep strategi yang matang, tepa selira atau saling menghormati, berbalas budi dan percaya diri.
Dalam kajian sosial-budaya, permainan tradisional merupakan salah satu warisan budaya. Dan, warisan budaya memiliki keperluan untuk dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya. Unsur ini merupakan sebuah sarana sosialisasi yang efektif dari nilai-nilai yang dipandang penting oleh suatu masyarakat. Nilai-nilai ini kemudian dapat menjadi pedoman hidup, pedoman berperilaku dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat.
Rahma (1996) menyatakan bahwa di dalam permainan rakyat seperti: Gobak sodor, kitri-kitri, man dhoblang, dan lain sebagainya sebenarnya mengandung banyak nilai filosofisnya, yaitu yang terwujud dalam fungsinya sebagai suatu media untuk menurunkan pesan-pesan budaya kepada generasi berikutnya. Oleh sebab itu, pesan-pesan budaya inilah yang dimaksudkan dengan hakikat permainan tradisional.
Pembelajaran
Tulisan ini tidak banyak mengetengahkan kenapa permainan tradisional semakin tereduksi dari lingkungan anak-anak. Hanya, permainan tradisional dirasa perlu untuk tetap dilestarikan karena memiliki substansi pembelajaran biologis, kognitif, dan sosioemosional pada anak. Ini sangat membantu proses perkembangan fisik dan psikis anak.
Perkembangan fisik anak akan terlatih ketika mereka bermain engklek. Bagaimana tidak, dengan cara melompat, menggunakan satu kaki dari petak pertama hingga petak teratas akan melatih otot kaki dan membantu pertumbuhan tulang. Permainan egrang juga perpengaruh positif terhadap otot tangan. Unsur biologis yang terlibat dalam setiap permainan melandasi perkembangan otak, perubahan dan kemampuan bergerak, dan perubahan hormonal di masa puber.
Pembelajaran yang melibatkan unsur kognitif juga akan membiak seiring dengan proses berlangsungnya permainan. Psikolog Swiss, Jean Piaget (1952), mengatakan bahwa ada dua proses yang bertanggungjawab atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi sebuah konsep dasar informasi. Dua proses penting yang bertalian erat dengan permainan yang mereka lakukan adalah: asimilasi dan akomodasi.
Dalam permainan egrang, misalnya. Budi berumur delapan tahun diberi bambu yang sudah dirakit sedemikian rupa layaknya alat egrang. Dia belum pernah sama sekali menggunakan alat itu. Tetapi dengan cara mengamati orang lain berjalan tinggi dengan bambu maka dia mengetahui bahwa bambu tadi harus dinaiki pada bagian yang sudah dirakit kemudian diayunkan ke depan. Setelah mengetahui hal ini, dia akan memasukkan pengetahuan ini ke dalam konsep pikiran yang sudah dimilikinya (asimilasi).
Akan tetapi, bambu tersebut terlalu berat untuk diayunkan, budi terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan antara kaki dan tangan untuk melangkah ke depan. Oleh karena itu, dia harus mampu menyesuaikan kekuatan kaki dan tangan bergerak secara seimbang. Penyesuaian ini mencerminkan kemampuannya untuk merubah sedikit pemahamannya tentang dunia (akomodasi).
Dalam menjalankan sebuah permainan, secara tidak langsung anak juga melakukan proses perkembangan sosioemosional. Mereka belajar bagaimana membangun hubungan yang baik dan melakukan kerjasama tim untuk mencapai tujuan yang sama. Perubahan emosi, perubahan kepribadian, perkembangan ketegasan anak perempuan, perkelahian, dan rasa kegembiraan saat memenangkan permainan mencerminkan proses perkembangan sosioemosional anak.
Usang
Permainan anak-anak dipelajari ketika mereka masih memasuki fase perkembangan janak-kanak. Sehingga nilai dan pesan-pesan moral yang terdapat dalam permainan tradisional tersebut dapat masuk dengan cepat. Ini pada gilirannya akan mengendap dengan kuat dalam alam bawah sadar (unconsciousness) seseorang.
Dalam analisis Freud, ketika mereka sudah dewasa kecemasan, ketakutan, dan apa-apa yang dipikirkannya tidak bisa luput dari dorongan alam bawah sadarnya. Sehingga, jika sejak kecil mereka pernah mengenal nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), etika perilaku dan nilai-nilai moral lainnya, maka ketika dewasa kelak konsep ini akan tetap hadir mengiringi alam sadar (consciousness) mereka yang kemudian termanifestasi dalam wujud perilaku nyata.
Kiranya tak tepat jika menganggap permainan tradisional ini sebagai salah satu permainan yang telah usang dan layak masuk museum. Nyatanya, kebermaknaan nilai-nilai local wisdom dan pemahaman moral masih memiliki pengaruh kuat pada usia dewasa. Sejatinya, media ini juga mampu mereduksi generasi moderen yang sarat dengan perilaku-perilaku konsumtif, hedon, dan glamorius duniawi. Sebuah budaya baru yang teralienasi dari kearifan lokal mapun moral dan etika. Saatnya memandang permainan tradisional bukan melulu sebagai permainan usang, akan tetapi proses pembelajaran yang terkandung di dalamnya perlu kita renungi bersama. (*)

0 komentar:

Posting Komentar